Kamis, 15 Juli 2010

Bioceramic, adalah produk dari PT. ANDRE SAN’t TUNGGAL JAYA yaitu berupa produk penghancur tinja sebagai pengganti septic tank pada umumnya yang sudah biasa kita kenal sebelumnya. Ingin mengetahui lebih dalam apa itu Bioceramic dengan senang hati akan kami jelaskan secara terperinci dan jelas pada sub-sub yang sudah disediakan di situs ini. Silahkan anda browsing disitus Bioceramic ini.

Sanitasi Bagi Si Miskin, Jangan Hanya Mimpi!

Di dunia saat ini, menurut catatan WHO (2006), hampir 2,6 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 1,1 miliar orang kekurangan air bersih. Hal ini mengakibatkan orang miskin menjadi sakit akibat sanitasi yang buruk. Sangat sulit membayangkan kerugian yang terjadi jika kita sekeluarga sakit hanya gara-gara mengonsumsi air yang tidak sehat akibat sistem saluran pembuangan air limbah di lingkungan kita tidak benar. Bayangkan, bila hal itu terjadi pada sebagian besar penduduk Indonesia.
Data BPS (2004) menyatakan bahwa proporsi rumah tangga di perkotaan yang menggunakan septic tank dan cubluk adalah 80,45 persen dan di pedesaan sebesar 57,26 persen (tidak mempertimbangkan kualitas sarana) dengan tingkat kepemilikan jamban keluarga di perkotaan 73,13 persen dan di pedesaan 53,1 persen. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup (2003) menyatakan, hanya 11 kota yang memiliki sistem sanitasi perpipaan terpusat dan hanya 13,9 persen penduduk yang mendapatkan akses terhadap sistem sewerage (pengolah air limbah).


Tangki septic komunal

Berbagai cara dan usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran pencemaran terhadap air dapat dihindari, dikurangi, atau minimal dapat dikendalikan. Penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat, misalnya, telah dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah, individu maupun lembaga-lembaga swadaya. Namun keadaan ekonomi yang mengimpit kehidupan masyarakat miskin, penyediaan infrastruktur sanitasi masih menjadi kendala utama. Untuk buang hajat saja, harus dilakukan di sembarang tempat.
Prakarsa perlunya penyediaan tangki septic (septic tank) komunal di kawasan – kawasan padat penduduk kiranya bisa menjadi solusi dalam pelaksanaan sanitasi lingkungan. Suatu prakarsa yang dilakukan ESP, misalnya, adalah melakukan kegiatan penyiapan masyarakat untuk menerima, menggunakan dan mengelola tangki septic komunal. Walau belum sepenuhnya mencapai target yang ditetapkan, kini beberapa hasil positif program sudah bisa dirasakan manfaatnya.
Menurut Selvina Hehanusa, aktivis ESP Jabar, program ini sejalan dengan program pembangunan sarana sanitasi berupa pembuatan tangki septic komunal dibawah Dinas Tata Ruang dan Permukiman Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Untuk Kab. Bandung, di tahun anggaran 2005/2006 Pemrov Jabar menyediakan anggaran hanya Rp. 300 juta untuk pembangunan dua unit sarana sanitasi tersebut.
Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memiliki sarana sanitasi, berada di lingkungan yang padat, dan tergolong warga miskin perkotaan. Lokasi pembangunan ditentukan bersama antara pemerintah daerah dan desa. Kampung Dara Ulin Rw.06, Desa Nanjung, Kev. Margaasih dan Kampung Penclut Rw.05, Desa Rancamanyar Kec. Baleendah Kab. Bandung terpilih sebagai lokasi pembangunan. Dua unit tangki septic komunal yang diperkiraan akan melayani sekitar 800 jiwa atau 400 rumah di lokasi tersebut.
Di Indonesia, bentuk sanitasi semacam itu, dalam praktek pengelolaannya ada yang dilakukan oleh pemerintah melalui PDAM (insitutional based) yang dikenal dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan TPAL (Tempat Pengolahan Air Limbah. Sedangkan septic komunal biasanya diprakarsai dan dikelola pemerintah bersama masyarakat (community based). Cara kerja dan fungsinya, baik IPAL atau TPAL maupun tangki septic komunal relatif sama.
Tanki septic komunal selain berfungsi sebagai tangki septic tinja juga berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Buangan tinja dan air limbah rumah tangga yang banyak mengandung pencemar organik, anorganik, dan bakteri patogen sebelum dibuang kedalam, diolah terlebih dahulu dalam septic komunal. Tangki septic model ini sangat efektif jika ditempatkan di pemukiman padat penduduk.
Berbeda pada tangki septic pada umumnya, tangki septic ini menggunakan sistem tiga ruangan yaitu ruang aerobik, fakultatif, dan anerobik serta ruang filter dan bak klorinasi. Tangki septic ini juga tidak membutuhkan bidang peresapan dan dibangun secara komunal sehingga dapat menghemat lahan. Kegiatan mikroorganmisme dalam proses biodegradasi merupakan faktor pendukung utama pada alat ini, karena pada umumnya air limbah rumah tangga mudah diuraikan (didegradasi) oleh mikroorganisme.
Tangki septic komunal dipandang lebih efektif dibandingkan dengan tangki septic pada umumnya, karena dapat mengolah air limbah baik dari WC maupun non WC dan dapat mengurangi pencemaran air karena kualitas effluent–nya relatif jauh lebih baik.

Penulis : Cecep Sukmara / dari berbagai sumber.
Kutipan dari : PIKIRAN RAKYAT Kamis, 8 Maret 2007 Hal. 30 (Cakrawala)

TINJA WARGA CEMARI KALI

Warta Kota, 

SANITASI buruk masih menjadi permasalahan serius dan menjadi factor penyebab banjir di Jakarta. Demikian di ungkapkan Kasubdit Air Minum dan Air Limbah Bappenas, Nugroho Tri Utomo, dalam diskusi bertema Bedah Banjir di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/2).
“Setiap harinya, di DKI Jakarta tinja di buang ke badan air (selokan dan sungai) mencapai 714 ton,sedangkan urin yang di buang 7.000 meter kubik,” ujarnya.
Tinja atau kotoran manusia yang mengandung miliaran bakteri tersebut berdampak sangat buruk bagi kesehatan masyarakat.
Ketika banjir, air di aliran sungai meluap, maka bakteri-bakteri itu disebarkan secara merata ke semua wilayah yang tergenang. “Masalah sanitasi bukan lagi menjadi urusan pribadi, namun masalah kita bersama,” tuturnya.
Pada 2007, di kawasan perkotaan, termasuk Jakarta, jumlah rumah yang memiliki septictank 71 persen. Jumlah itu belum termasuk septictank yang bocor dan mencemari sumur-sumur serta air tanah warga.
Jarak yang aman antara septictank dengan air tanah yang dikonsumsi adalah 10 meter. “Mungkin pompa dan septictank kita berjauhan, tapi apakah sumur kita dekat dengan septictank tetangga?” ujar Nugroho.
Secara normal, septictank harus di kuras dua sampai tiga tahun sekali.
Jika tidak, bisa diindikasikan septictank tersebut bocor dan mencemari lingkungan. Masalah lainnya, pengolahan tinja juga seringkali menyalahi aturan. Banyak truk tinja yang membuang lumpur tinja ke sungai. Selain itu masih banyak rumah yang membuang langsung tinja ke sungai.
Dia mengatakan, secara ekonomi, kerugian financial yang di akibatkan dari buruknya sanitasi sekitar Rp 252.000/kapita/tahun. Hal tersebut merupakan kompensasi dari biaya kesehatan yang harus ditanggung jika menderita sakit, seperti diare, kolera, dan hepatitis A.
Pembenahan sanitasi di kota tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Semua harus terlibat, baik masyarakat maupun swasta. Diperlukan kerangka peraturan, kebijakan, dan kelembagaan yang lengkap. Sebab, anggaran pemerintah untuk sanitasi sangat minim, sedangkan untuk membangun suatu sarana pengolahan sanitasi komunal minimal membutuhkan Rp 300 juta. Hingga kini, baru ada sekitar 300 sistem sanitasi komunal di Indonesia.
Sistem tersebut terbagi menjadi dua jenis, yakni mandi cuci kakus (MCK) dan system dengan sambungan bersama untuk mengolah limbah. “Sistem pengolahan komunal di Jakarta ada di kawasan Setiabudi, Jaksel,” imbuhnya.
Diskusi kemarin diadakan oleh Collaborative Knowledge Network Indonesia (CK Net Ina) bersama Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Hadir juga sebagai pembicara, konsultan banjir, Jan TL Yap.
Menurut Yap, bebas banjir adalah hal yang mustahil. Sedangkan yang mungkin di lakukan adalah manajemen banjir yang terintegrasi untuk mengurangi dampak dan kerugian akibat banjir. (sab)

BAHAYA TINJA
  1. Kandungan mikroba bisa sebabkan tifus, kolera, hepatitis A, dan virus polio.
  2. Telur cacing biasanya terkandung dalam tinja, satu gram tinja bisa berisi ribuan telur cacing.
  3. Mencemari air tanah yang biasa dikonsumsi warga.

TIP AMAN DARI TINJA
  1. Kuras septictank minimal tiga tahun sekali.
  2. Cek apakah septictank mengalami kebocoran, dengan mengetahui volumenya.
  3. Buat sumur minimal berjarak 10 meter dari septictank.
  4. Jangan gunakan air sungai di kota untuk minum atau gosok gigi.
  5. Tinja harus di kirim ke instalasi pengolahan Lumpur tinja.
  6. Jaga lingkungan sekitar dari cemara septic tank.
Bukan sekedar mimpi
 Bila dilihat kondisi sanitasi di Indonesia saat ini, tampak bahwa banyak persoalan yang harus segera dibenah. Mulai dari persoalan sampah yang selama ini selalu menjadi ganjalan bagi kabupaten/kota dalam proses pengelolaannya, rendahnya prioritas pembangunan sektor sanitasi, serta kurangnya kebijakan dan peraturan sektor sanitasi hingga minimnya cakupan layanan fasilitas sanitasi. Sebenarnya hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, sebab rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kualitas sanitasi ditenggarai juga merupakan salah satu aspek semrawutnya persoalan sanitasi di Indonesia.

Sudah saatnya, semua kebijakan lebih terintegrasi dan melibatkan partisipasi masyarakat disertai pengawasan yang ketat di dalam penerapannya. Ini semua bukan mimpi, tapi kenyataan yang harus dihadapi. Ketika kota-kota lain di Asia telah menggunakan sewerage system, sungguh ironis kita (warga Kota Bandung) masih senang menggunakan septic tank, padahal sewerage system sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1910-an dan PDAM Kota Bandung sendiri memiliki instalasi pengolahan air kotor yang terluas di Asia. Dengan sewerage system dan septic tank komunal yang berfungsi untuk mengumpulkan air tinja dari rumah-rumah dan mengolahnya sampai mencapai baku mutu efluen yang ditetapkan, septic tank tidak diperlukan lagi sehingga potensi pencemaran air tanah akan berkurang dan biaya pengolahan air tidak akan meningkat. Sewerage system terdiri dari sambungan rumah, saluran pengumpul, dan instalasi pengolahan.
Indentifikasi faktor kemiskinan yang berkaitan erat dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang terperinci juga diperlukan, termasuk pertimbangan keadilan dan keberlanjutan. Keadilan adalah elemen penting bagi pengentasan kemiskinan, karena merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat miskin mampu mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, seperti pelayanan publik akses pendanaan bagi pembuatan sistem sanitasi dasar, dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Banyak hal bisa dilakukan bagi peningkatan akses sanitasi untuk masyarakat miskin, di antaranya adalah pelibatan setiap stakeholder dari mulai proses perencanaan hingga pelaksanaan, kemudahan pendanaan, keefektifan penerapan sistem sanitasi, penerapan kebijakan dan peraturan-peraturan pendukung serta kehendak dari setiap individu untuk berbuat lebih baik lagi. Tugas utama pemerintah kabupaten dan kota adalah menyusun kebijakan tentang arah, rencana, dan target perbaikan sanitasi serta memastikan tidak terjadinya tumpang tindih dalam upaya perbaikan sanitasi yang ada. Semoga sanitasi bagi si miskin tidak hanya menjadi sekedar mimpi belaka.
Penulis : Bambang Agus Kusyanto
Koordinator Program Katurnagari dan Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A)
Kutipan dari : PIKIRAN RAKYAT Kamis, 8 Maret 2007 Hal. 29 (Cakrawala)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar